Sabtu, 11 Juni 2011

Hak atas Pekerjaan dan Penghidupan yang Layak dan Hak atas Pengajaran

A. Hak atas Penghidupan yang Layak
1. Macam-macam Hak Pekerja
a. Hak Atas Pekerjaan
Hak atas pekerjaan merupakan hak azasi manusia,karena.:
1. Kerja melekat pada tubuh manusia. Kerja adalah aktifitas tubuh dan karena itu tidak bisa dilepaskan atau difikirkan lepas dari tubuh manusia.
2. Kerja merupakan perwujudan diri manusia, melalui kerja manusia merealisasikan dirinya sebagai manusia dan sekaligus membangun hidup dan lingkungannya yang lebih manusiawi. Maka melalui kerja manusia menjadi manusia, melalui kerja mamnusia menentukan hidupnya sendiri sebagai manusia yang mandiri.
3. Hak atas kerja juga merupakan salah satu hak asasi manusia karena kerja berkaitan dengan hak atas hidup, bahkan hak atas hidup yang layak.
Hak atas pekerjaan ini tercantum dalam undang-undang dasar 1945 pasal 27 ayat 2 yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
b. Hak atas upah yang adil
Hak atas upah yang adil merupakan hak legal yang diterima dan dituntut seseorang sejak ia mengikat diri untuk bekerja pada suatu perusahaan. Dengan hak atas upah yang adil sesungguhnya bahwa:
1. Bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan upah, artinya setiap pekerja berhak untuk dibayar.
2. Setiap orang tidak hanya berhak memperoleh upah, ia juga berhak memperoleh upah yang adil yaitu upah yang sebanding dengan tenaga yang telah disumbangkannya.
3. Bahwa perinsipnya tidak boleh ada perlakuan yang berbeda atau diskriminatif dalam soal pemberian upah kepada semua karyawan, dengan kata lain harus berlaku prinsip upah yang sama untuk pekerjaan yang sama.
c. Hak untuk berserikat dan berkumpul Untuk bisa memperjuangkan kepentingannya, khususnya hak atas upah yang adil, pekerja harus diakui dan dijamin haknya untuk berserikat dan berkumpul. Yang bertujuan untuk bersatu memperjuangkan hak dan kepentingan semua anggota mereka. Menurut De Geroge, dalam suatu masyarakat yang adil, diantara perantara-perantara yang perlu untuk mencapai suatu sistem upah yang adil, serikat pekerja memainkan peran yang penting.
Ada dua dasar moral yang penting dari hak untuk berserikat dan berkumpul :
1. Ini merupakan salah satu wujud utama dari hak atas kebebasan yang merupakan salah satu hak asasi manusia.
2. Dengan hak untuk berserikat dan berkumpul, pekerja dapat bersama-sama secara kompak memperjuangkan hak mereka yang lain, khususnya atas upah yang adil.
Beberapa hal yang perlu dijamin dalam kaitan dengan hak atas keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja:
1. Setiap pekerja berhak mendapatkan perlindungan atas keamanan, keselamatan dan kesehatan melalui program jaminan atau asuransi keamanan dan kesehatan yang diadakan perusahaan itu.
2. Setiap pekerja berhak mengetahui kemungkinan resiko yang akan dihadapinya dalam menjalankan pekerjaannya dalam bidang tertentu dalam perusahaan tersebut.
3. Setiap pekerja bebas untuk memilih dan menerima pekerjan dengan resiko yang sudah diketahuinya itu atau sebaiknya menolaknya.
d. Hak untuk diproses hukum secara sah Hak ini terutama berlaku ketika seorang pekerja dituduh dan diancam dengan hukuman tertentu karena diduga melakukan pelanggaran atau kesalahan tertentu. pekerja tersebut wajib diberi kesempatan untuk mempertanggungjawabkan tindakannya, dan kalau ternyata ia tidak bersalah ia wajib diberi kesempatan untuk membela diri.
e. Hak untuk diperlakukan secara sama Pada perinsipnya semua pekerja harus diperlakukan secara sama, secara fair. Artinya tidak boleh ada diskriminasi dalam perusahaan entah berdasarkan warna kulit, jenis kelamin, etnis, agama dan semacamnya, baik dalam sikap dan perlakuan, gaji, maupun peluang untuk jabatan, pelatihan atau pendidikan lebih lanjut. Perbedan dalam hal gaji dan peluang harus dipertimbangkan secara rasional. Diskriminasi yang didasrkan pada jenis kelamin, etnis, agama dan semacamnya adalah perlakuan yang tidak adil.
f. Hak atas rahasia pribadi Karyawan punya hak untuk dirahasiakan data pribadinya, bahkan perusahan harus menerima bahwa ada hal-hal tertentu yang tidak boleh diketahui oleh perusahaan dan ingin tetap dirahasiakan oleh karyawan. Hak atas rahasia pribadi tidak mutlak, dalam kasus tertentu data yang dianggap paling rahasia harus diketahui oleh perusahaan atau akryawan lainnya, misalnya orang yang menderita penyakit tertentu. Ditakutkan apabila sewaktu-waktu penyakit tersebut kambuh akan merugikan banyak orang atau mungkin mencelakakan orang lain. Umumnya yang dianggap sebagai rahasia pribadi dan karena itu tidak perlu diketahui dan dicampuri oleh perusahaan adalah persoalan yang menyangkut keyakinan religius, afiliasi dan haluan politik, urusan keluarga serta urusan sosial lainnya.
g. Hak atas kebebasan suara hati. Pekerja tidak boleh dipaksa untuk melakukan tindakan tertentu yang dianggapnya tidak baik, atau mungkin baik menurut perusahaan jadi pekerja harus dibiarkan bebas mengikuti apa yang menurut suara hatinya adalah hal yang baik.
2. Realitas perburuhan Hari ini ( 1 Mei ), adalah hari yang penting untuk kaum buruh karena pada hari ini seluruh buruh memperingati hari buruh sedunia. Bila melihat konteks ke Indonesiaan atau bahkan Sumatera Barat dengan memanfaatkan peringatan hari buruh ini, banyak masalah perburuhan yang menjadi perhatian serius dari seluruh elemen masyarakat. Buruh adalah salah satu bagian dari bangsa yang seharusnya dianggap penting dan strategis dalam pembangunan serta berjalannya roda perekonomian bangsa. Namun untuk dianggap penting dan strategis, buruh kita sendiri tidak atau belum siap untuk itu. Pada sisi lain pemerasan terhadap buruh terus berlangsung. Sadar atau tidak disadari hak-hak buruh belum sepenuhnya diperhatikan. Buruh, siapa itu buruh? Buruh identik dengan pekerjaan kasar. Kesan itu tidak sepenuhnya betul, banyak buruh yang tidak sadar bahwa sesungguhnya mereka itu bagian dari buruh karena pekerjaan mereka tidak kasar (konteks Sumbar). Buruh adalah setiap orang yang bekerja pada orang lain dan mendapatkan prestasi (upah) darinya. Kalau demikian halnya, cakupan buruh atau yang disebut dengan buruh sangat luas. Buruh sesungguhnya adalah keluarga yang paling besar di republic ini. Namun keluarga yang besar ini tampak dikecilkan dan keluarga besar ini tidak dapat berbuat banyak akan hal itu. Pergerakan buruh tidak begitu popular pada kehidupan berbangsa ini. Jika memperhatikan pergerakan buruh di Negara-negara maju yang membangun perekonomiannya dengan perindustrian, maka buruh Indonesia sepantasnya iri dengan nasib yang lebih baik pada buruh di Negara-negara maju tersebut. Pada Negara-negara maju itu, buruh merupakan kekuatan yang besar, bisa menentukan arah perekonomian dan arah kebijakan politik. Buruh “terpaksa” dihormati dan dihargai oleh majikan maupun oleh Negara, sehingga dalam segala perjanjian antara buruh dan majikan maupun perjanjian antara buruh dan majikan yang melibatkan Negara, kaum buruh mempunyai posisi yang berimbang (dalam hal tawar-menawar) dengan kedua pihak tersebut. Secara konteks ke-Indonesiaan, kenyataan bahwa buruh mempunyai posisi “kelas dua” dibawah para majikan. Dengan demikian, buruh hanya dijadikan objek oleh majikan maupun oleh Negara. Posisi buruh tidaklah sebagai subjek akibatnya buruh hanya bisa pasrah dengan kemauan majikan walaupun hak-hak buruh yang seharusnya mereka miliki ditiadakan. Pada hal hak-hak buruh dijamin oleh konstitusi Negara ini. Pasal 27 ayat (2) UUD tahun 1945 menyatakan bahwa “tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Mari kita pelajari bunyi pasal dan ayat itu. Ada dua poin penting yang dicatat disana :
Pertama, hak atas pekerjaan yang layak. Sudah semestinya seorang buruh mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keinginan dan kemampuan mereka. Lebih jauh lagi, hak atas pekerjaan yang layak ini mencerminkan bahwa buruh bukan barang perasan, buruh bukan robot yang paksakan untuk bekerja hingga diluar batas kemampuan seorang manusia. Misalnya dalam masalah waktu bekerja, telah diberi batas yang menjadi standar kemampuan manusia yaitu buruh hanya berkerja selama delapan jam sehari.
Kedua, hak atas penghidupan yang layak. Ini adalah cerminan untuk kesejahteraan seorang buruh. Hak atas penghidupan yang layak juga berkaitan dengan kebutuhan hidup satu orang manusia atau satu keluarga buruh. Kesejahteraan buruh berkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan dengan upah yang diterimanya. Misalnya, pada local Sumatera Barat telah ditetapkan Upah Minimum Regional (UMR) Sumbar adalah sebesar Rp. 725.000,-. Apakah buruh Sumatera Barat telah mendapatkan haknya itu? Buruh juga berhak mendapatkan jatah libur satu hari dalam satu minggu, juga buruh wanita mempunyai hak untuk mendapatkan “cuti haid” dan banyak lagi hak-hak yang lainnya.
Pasal 27 ayat (2) di atas, kemudian dipertegas lagi dengan dibentuk dan dikeluarkannya Undang-Undang tentang Perburuhan dan Tenaga Kerja (UU No. 13 Tahun 2003). Secara garis besar tujuan dari pembentukkan UU ini adalah berusaha untuk mengayomi, memanusiakan dan memberi keadilan pada buruh. Namun disinilah letak dilemma hokum perburuhan dan tenaga kerja di Indonesia. Jumhur Hidayat menyatakan bahwa hokum kita bagus pada konsep tapi tidak bagus pada pelaksanaannya. Pernyataan Jumhur Hidayat ini mempunyai relevansi dengan hokum perburuhan dan tenaga kerja yang telah ada. Sudah sejauh manakah hokum perburuhan dan tenaga kerja mengayomi, memanusiakan dan memberi keadilan pada buruh? Negara memang sulit untuk mengatur dan mengintervensi perburuhan ini karena dasar dari hokum perburuhan adalah hokum privat yaitu hokum yang mengatur hubungan antara satu warga masyarakat dengan warga masyarakat lainnya. Bentuk dari pengaturan dan intervensi dari pemerintah ini hanya terlihat dalam pembentukkan UU Perburuhan dan Tenaga Kerja dan sebagai penyelesai sengketa pada tingkat pengadilan. Pada satu sisi buruh adalah bawahan dari majikan, mereka takut untuk membela diri demi haknya karena takut kehilangan pekerjaannya. Hal itu diperparah lagi dengan miskinnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada pada kebanyakan buruh. Jika kita berpijak di alam nyata, jarang ada buruh yang cerdik seperti kecerdikan majikannya atau bahkan melebihi kecerdikan majikannya, yang ada kecerdikan buruh itu berada di bawah kecerdikan majikan. Walaupun Negara berusaha mengintervensi perburuhan dengan memuat hak-hak buruh dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya tetap saja hak-hak buruh yang berimplikasi pada terangkatnya harkat serta martabat buruh tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sekali lagi, adanya regulasi tentang perburuhan dan tenaga kerja hanya bagus pada konsep tetapi tidak nampak pada pelaksanaannya. Negara seidealnya lebih banyak ikut terlibat agar segala regulasi yang dibuatnya dapat berjalan sebagaimana mestinya (dengan semangat otonomi daerah sudah kewajiban pula pemerintahan daerah mengatur masalah perburuhan ini). Bagaimana seidealnya memecahkan segala masalah yang sedikit banyak telah disebut di atas? Pertama, niat baik dari majikan untuk lebih memperhatikan hak-hak buruhnya. Niat baik ini kadang terhapus dengan melihat peluang yang dapat memperkaya dirinya (motif ekonomi). Kedua, peningkatan SDM buruh hingga mampu mengadvokasi dan menuntut hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Ketiga, regulasi perburuhan harus disosialisasikan kepada buruh dan majikan oleh pemerintah, LSM, dan pers.
B. Hak atas Pendidikan yang Layak
1. Dasar Hukum Hak atas pendidikan yang layak Setiap warga negara Indonesia dijamin hak dan kewajibannya dalam UUD 1945. Terkait dengan judul di atas mengenai Hak atas pendidikan yang layak. Bahwa sejak lahir seorang manusia memilki Hak Asasi yang pemenuhannya dijamin dalam Konstitusi kita. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, memberikan definisi Hak Asasi Manusia yaitu:" seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia." Artinya bahwa setiap hak asasi manusia yang dijamin dalam Konstitusi (UUD 1945) maupun Undang-Undang seperti UU No. 39 Tahun 1999 wajib (harus dipenuhi) dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi. Kembali ke judul di atas, terkait dengan implementasi pemenuhan hak atas pendidikan yang layak di Indonesia, fakta di lapangan (das sein) berbeda sekali dengan ketentuan yang ada di dalam Konstitusi (UUD 1945) maupun Undang-Undang. Hak atas pendidikan dalam UUD 1945 diatur dalam Pasal 28 C:
" Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmi pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia." Sangat tegas sekali UUD 1945 mengakomodasi hak asasi manusia untuk mendapatkan pendidikan demi kesejahteraan hidupnya. Dalam UU No. 39 Tahun 1999 juga hampir serupa pengaturannya, yaitu dalam Pasal 12:
"Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia." Dapat disimpulkan bahwa Hak Asasi Manusia atas pendidikan sudah sangat tegas diatur dalam UUD 1945 serta kemudian ditegaskan kembali dalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM. Terkait dengan pemenuhan dan jaminan pelrindungan atas hak asasi ini masih jauh dari harapan. Setidaknya sebagai warga negara yang sadar hukum kita sama-sama berusaha untuk menghormati dan menjunjung hak asasi manusia lain, khususnya atas hak pendidikan. Jangan sampai ada diskriminasi antar warga negara, karena dengan tegas diatur bahwa manusia memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.
2. Pemahaman HAM khususnya Hak atas Pendidikan di Indonesia Hak atas pendidikan merupakan bagian dari hak asasi manusia bidang Ekonomi, Sosial, dan budaya (Ekosob). Hak ekonomi, sosial, dan budaya di Negara Republik Indonesia masih tergolong sangat muda. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekosob tanggal 28 Oktober 2005 merupakan langkah politik hukum Hak Asasi Manusia di Indonesia yang patut diapresiasi.
”Negara-negara yang telah menjadi pihak pada kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan budaya itu dengan meratifikasinya, mencapai 142 Negara, dan kini ditambah satu negara lagi yang baru meratifikasi, yaitu Indonesia”. “Begitu pentingnya keberadaan pendidikan, maka terpenuhinya hak atas pendidikan merupakan hak atas manusia.” Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang melekat pada diri setiap warga dari suatu negara. Hanya saja, karena masalah hak sipil dan politik sangat menonjol pada masa Orde Baru, maka sampai tumbangnya rezim Orde Baru orang mengenal isu hak-hak asasi itu sebatas pada masalah hak sipil dan politik (Sipol) saja, sedangkan hak akan pendidikan, lapangan kerja, dan budaya yang terangkum dalam hak Ekosob (Ekonomi, Sosial, dan Budaya) tidak dianggap sebagai masalah hak asasi manusia. Hak atas pendidikan telah digariskan sebagai hak konstitusional sebagaimana dimaktubkan dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa : “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Rumusan pendidikan sebagai bagian dari hak asasi manusia itu terlihat jelas pada Pasal 26 Deklarasi Hak Asasi Manusia yang menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas pendidikan. Pendidikan harus bebas biaya, setidaknya pada tingkat dasar dan tingkat rendah. Pendidikan dasar harus bersifat wajib. Pendidikan teknik dan profesi harus tersedia secara umum dan pendidikan yang lebih tinggi harus sama-sama dapat dimasuki semua orang berdasarkan kemampuan”. Ketentuan Pasal 26 Konvensi Hak Asasi Manusia tersebut sejalan dengan tujuan penyelenggaraan negara, yaitu salah satunya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea IV). Tujuan tersebut secara rinci ditentukan dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah dirubah, yang menentukan:
1. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya
3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
5. Pendidikan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinnggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Bunyi Pasal 31 UUD 1945 tersebut kemudian diperjelas lagi dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Pasal 5 UU Sisdiknas tersebut menyatakan:
1. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
2. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
3. Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
4. Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
5. Setiap warga Negara berhak mendapatkan kesempatan meningkatan pendidikan sepanjang hayat.
Sedangkan ayat 1 pasal 6 UU No.20/2003 menyatakan bahwa: “Setiap warga Negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.”
Hak atas pendidikan dalam UUD 1945 ditentukan dalam Pasal 28 C menentukan: “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmi pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Sangat tegas sekali Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia mengakomodasi hak asasi manusia untuk mendapatkan pendidikan demi kesejahteraan hidupnya. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia juga hampir serupa pengaturannya, yaitu dalam Pasal 12 menentukan bahawa : ‘Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, bertanggungjawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.’’
Berkembangnya isu tentang hak asasi manusia di Indonesia, banyak sekelompok orang atau lembaga mengangkat isu hak asasi manusia sebagai topik untuk menyelenggarakan pertemuan atau seminar untuk membicarakan keadaan hak-hak asasi manusia di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya. Tetapi dalam kaitan ini, nampaknya benar apa yang dikatakan oleh Jorge I. Dominguez yang dikutip Mulyana W. Kusumah :
“Sungguhpun Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia Sedunia menyediakan pedoman normatip bagi suatu index, namun bukan suatu kerangka yang dapat dengan mudah dipergunakan untuk menilai kondisi hak-hak asasi manusia aktual, yaitu sejauh mana kondisi-kondisi politik, ekonomi, dan sosial serasi dengan norma-norma yang ditentukan dalam deklarasi tersebut.”
Sebagai bagian dari hak asasi manusia, hak atas pendidikan memberikan arti penting bagi upaya pemenuhan hak asasi manusia secara luas. Majda El Muhtaj mengatakan bahwa ”hak atas pendidikan adalah hak yang memberdayakan (empowerment rights). Hak atas pendidikan, secara efektif, memberikan pengaruh langsung bagi penikmatan dan pemenuhan hak-hak lainnya, dan pemenuhan terhadap hak pendidikan adalah pemenuhan bagi jati diri dan kemartabatan manusia”.


Daftar Pustaka
http://gebotz.blogspot.com/2009/03/hak-atas-pendidikan-yang-layak.html
http://cupzarc.blogspot.com/2011/01/hak-pekerja.html Sabtu, 01 Januari 2011
http://famm2007.multiply.com/journal/item/8
http://geramtolakbhp.wordpress.com/2008/01/07/pemenuhan-hak-hak-atas-pendidikan1

2 komentar: